Solidaritas Perempuan Lampung Serukan Penghapusan Kekerasan dan Diskriminasi
Aksi damai memperingati 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan di Bandar Lampung | Foto : Eka Febriani / Lampung Geh
Lampung Geh, Bandar Lampung – Dalam rangka memperingati 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16 HAKTP), Solidaritas Perempuan Sebay Lampung bersama organisasi mahasiswa, SMI, LMID, Walhi, LBH Bandar Lampung, YKWS, AJI Bandar Lampung dan PKBI menggelar aksi damai di Tugu Adipura, Bandar Lampung, pada Kamis (5/12).
Aksi ini menyoroti persoalan kekerasan, diskriminasi, dan stereotipe terhadap perempuan dalam masyarakat patriarkal yang masih mendominasi.
Aksi damai memperingati 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan di Bandar Lampung | Foto : Eka Febriani / Lampung Geh
Koordinator Aksi sekaligus anggota SP Sebay Lampung, Fitri Nur menyampaikan seruan kritis mengenai posisi perempuan yang dianggap masih termarginalkan di berbagai aspek kehidupan.
Dalam aksi tersebut, ia menegaskan bahwa perempuan kerap menghadapi ketidakadilan, baik di ranah domestik, tempat kerja, maupun institusi pendidikan.
“Kami ingin mengingatkan bahwa perempuan terus berada di posisi yang termarginalkan, baik di rumah, tempat kerja, maupun lembaga pendidikan. Tidak ada ruang aman bagi perempuan di bawah sistem kapitalis patriarkal ini,” ujar Fitri.
Aksi damai memperingati 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan di Bandar Lampung | Foto : Eka Febriani / Lampung Geh
Aksi ini menyoroti data dari Komnas Perempuan yang mencatat sebanyak 289.111 kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang 2023.
“Angka tersebut menunjukkan bahwa kekerasan terhadap perempuan masih menjadi masalah serius yang memerlukan perhatian mendalam dari semua pihak,” kata Fitri.
Peserta aksi membawa 13 tuntutan utama yang berfokus pada penghapusan kekerasan, keadilan gender, dan perlindungan hak-hak perempuan.
Beberapa tuntutan yang disuarakan antara lain:
1. Menghentikan kekerasan seksual di dunia pendidikan.
2. Mengakhiri diskriminasi terhadap petani perempuan dan perempuan Papua.
3. Memberikan perlindungan bagi buruh migran perempuan dan pembela hak asasi manusia (HAM).
4. Menolak proyek pembangunan yang merusak lingkungan dan kehidupan perempuan, termasuk reklamasi pesisir.
5. Mengakui perempuan pesisir sebagai nelayan dan menjamin relasi setara dalam agraria.
“Perempuan seringkali dipandang hanya cocok untuk pekerjaan domestik, dianggap emosional, tidak rasional, dan tidak mampu memimpin. Stigma ini harus diakhiri. Kita membutuhkan ruang publik yang setara dan aman untuk perempuan,” tegas Fitri.
Dalam orasinya, peserta aksi juga mengkritik sistem kapitalis patriarkal yang kerap menempatkan perempuan sebagai objek komoditas dan seksual.
Sistem ini, menurut mereka, tidak hanya merugikan perempuan secara sosial, tetapi juga menempatkan perempuan dalam posisi yang rawan terhadap eksploitasi dan penindasan.
“Kami menuntut keadilan dan perlindungan yang responsif gender dari pemerintah, khususnya untuk perempuan buruh migran, petani, nelayan, dan masyarakat adat Papua. Sudah waktunya kebijakan diskriminatif dicabut!” kata salah satu peserta aksi.
Momentum 16 HAKTP 2024 ini menjadi seruan untuk semua pihak, termasuk pemerintah, agar segera mengambil langkah konkret dalam menjamin keadilan dan kesetaraan gender.
Fitri juga mengungkapkan bahwa aksi damai ini tidak hanya menjadi wujud solidaritas perempuan Lampung, tetapi juga bentuk perlawanan terhadap kekerasan dan ketidakadilan yang masih dialami perempuan di berbagai belahan dunia.
“Ini bukan hanya perjuangan perempuan, ini adalah perjuangan kita bersama untuk menciptakan dunia yang lebih adil,” pungkasnya. (Cha/Put)