ICW: Kecurangan Pemilu Februari Lalu Berpotensi Terjadi Kembali di Pilkada 2024
Themis Indonesia, Perludem, ICW, dan Yayasan Dewi Keadilan menggelar diskusi bertajuk ‘Kecurangan Pilkada 2024: Dari Dinasti, Calon Tunggal, dan Netralitas ASN’, di Rumah Belajar ICW, Kalibata, Jakarta Selatan, Selasa (12/8/2024). Foto: Fadhil Pramudya/kumparan
Indonesia Corruption Watch (ICW) menduga praktik kecurangan yang terjadi di Pemilu 2024 pada Februari lalu akan terulang di Pilkada 2024 mendatang. Februari lalu, pemilu digelar untuk memilih presiden, anggota legislatif pusat hingga daerah, dan DPD.
Kepala Divisi Bidang Korupsi Politik ICW, Egi Primayogha, menilai praktik kecurangan itu meliputi banyak hal, mulai dari politik uang hingga politisasi bansos.
“Serupa dengan dugaan kami bahwa praktik kecurangan pemilu yang terjadi secara vulgar pada Februari lalu, itu berpotensi terjadi kembali pada Pilkada 2024,” katanya dalam diskusi bertajuk ‘Kecurangan Pilkada 2024: Dari Dinasti, Calon Tunggal, dan Netralitas ASN’, di Rumah Belajar ICW, Jakarta Selatan, Selasa (12/8).
Ia menyebut, tidak adanya pengungkapan secara adil terkait praktik kecurangan yang terjadi di Pemilu 2024 lalu, membuat hal itu dikhawatirkan bisa diwajarkan di Pilkada 2024 mendatang.
“Orang-orang akan berani untuk melakukan praktik kecurangan dan sekali lagi itu akan terjadi secara masif di Pilkada 2024,” jelas dia.
Ilustrasi korupsi. Foto: Shutter Stock
Menurutnya, praktik kecurangan berupa politik uang cenderung mengalami peningkatan pada penyelenggaraan pemilu dari tahun ke tahun.
Bahkan pemilih pun telah menjadikannya sebagai normal dan menjadi permintaan jelang pemilu.
Oleh karenanya, Egi menekankan perlu adanya pengawasan yang tegas dari aparat penegak hukum maupun dari masyarakat sendiri.
“Itu akan semakin sulit untuk ditindak, tanpa pengawasannya patuh, tanpa pengawasannya yang melekat dari warganya sendiri atau juga dari aparat penegak hukum, praktik politik uang akan semakin meluas,” terangnya.
Tak hanya itu, persoalan lain juga turut menjadi sorotan. Mulai dari pengerahan ASN agar memilih calon tertentu, politisasi bansos, praktik politik dinasti, hingga memunculkan wacana adanya kotak kosong.
Pekerja menurunkan kotak suara pemilu 2024 saat tiba di Gudang Logistik KPU Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Sabtu (28/10/2023). Foto: Novrian Arbi/ANTARA FOTO
Terkait dengan kotak kosong, Egi menilai hal itu disalahgunakan dan kerap disalahartikan. Padahal, katanya, kotak kosong adalah bentuk dari protes pemilih di saat partai politik tak mampu menghadirkan calon yang berkualitas.
“Tanpa adanya calon saingan, maka itu tidak patut sebetulnya dilakukan. Itulah kenapa disediakan mekanisme kotak kosong sebagai protes voting dan sayangnya mekanisme ini justru digunakan untuk memenangkan kandidat tertentu,” ucap Egi.
Egi pun menekankan bahwa memunculkan satu opsi calon bagi masyarakat untuk memilih itu praktik yang tidak sehat di dalam berdemokrasi. Menurutnya, partai politik justru menggunakan kotak kosong sebagai langkah untuk memenangkan satu opsi calon tersebut.
“Kenapa partai politik tidak bisa memberikan kandidat saingan yang patut, yang berintegritas dan sebagainya. Tapi, justru malah membiarkan calon tunggal itu ada buat publik, publik hanya disediakan satu opsi,” tandasnya.
“Namun, sekali lagi, sayangnya itu malah dibajak oleh para elite yang punya kepentingan, sehingga ini tidak bisa dianggap remeh mekanisme pembajakan kotak kosong,” pungkas dia.