Berita

Turunnya Angka Pernikahan dan Ancaman Depopulasi di Indonesia

Kapan nikah?

Pinky sudah bisa menebak pertanyaan itu akan menghampirinya kala Lebaran tiba. Dan ketika pertanyaan tersebut benar muncul di tengah silaturahmi keluarga, perempuan 34 tahun itu bukan lagi bosan, tapi menahan amarah.

Emosi Pinky memuncak di ubun-ubun. Apalagi pertanyaan itu selalu ia terima setiap tahun sejak berusia pertengahan 20-an.

“Pertanyaannya itu lagi, itu lagi. Ya emosilah, sampai kayak enggak pengin kumpul keluarga. Tapi semakin ke sini semakin biasa [dengar pertanyaan itu],” kata Pinky kepada kumparan.

Ilustrasi menikah. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan

Perempuan lajang lainnya, Aprilia, memiliki cerita serupa. Sampai-sampai tiap kali ditanya “kapan nikah” oleh keluarga, ia menjawab dengan kelakar bahwa ia bakal menikah hari Sabtu atau Minggu di Gedung Serbaguna Kecamatan.

“Kadang-kadang gue suka balikin [ucapan ke yang bertanya]: Biayain dong prasmanan dan tendanya. Udah, gue gituin aja, enjoy,” kata April yang berusia 31 tahun.

Bagi Pinky dan April, menikah bukan cuma soal usia yang cukup, tetapi juga menemukan orang yang tepat, perencanaan dan biaya yang tepat, serta konsep membangun membangun rumah tangga bersama pasangan.

Menurut April, pernikahan bukan perkara mudah karena ia melihat sendiri pengalaman orang-orang di sekitarnya yang bisa menikah-cerai hingga 3–4 kali. Karenanya ia ingin menikah dan berumah tangga dengan rencana yang matang dan biaya yang diperhitungkan, sebab ia tak ingin anaknya kelak terlantar.

Ilustrasi pasagan menikah memiliki anak. Foto: Hananeko_Studio/Shutterstock

Pinky sependapat. Baginya, membangun keluarga perlu mempertimbangkan soal ekonomi karena membesarkan anak dari bayi hingga dewasa memerlukan biaya yang tak sedikit.

“Lo mau punya anak berapa, harus direncanakan. Punya anak saja menurut gue sebuah kemewahan. Jangan sampai punya anak tapi anaknya terlantar,” kata April.

Kisah Pinky dan April nyatanya bukan sekadar persoalan personal, melainkan cerminan tren yang lebih besar, sebab keinginan menunda pernikahan melanda banyak anak muda.

Data Badan Pusat Statistik mencatat angka pernikahan di Indonesia turun secara gradual pada 10 tahun terakhir. Pada tahun 2014 terdapat 2.110.776 pernikahan, dan pada 2024 angkanya turun menjadi 1.478.302.

Di Balik Penurunan Angka Pernikahan

Kepala Lembaga Demografi FEB UI I Dewa Gede Karma Wisana menjelaskan, penurunan angka pernikahan di Indonesia adalah sesuatu yang alamiah seiring dengan meningkatnya angka partisipasi sekolah (APS) di Indonesia.

Sebagai contoh, pada 2015, APS di kelompok usia 16–18 tahun sebesar 70,61% dan 19–23 tahun sebesar 25,92%. Pada 2024, APS di kedua kelompok usia itu naik masing-masing menjadi 74,64% dan 29,01% berdasarkan data BPS.

“Khususnya pendidikan menengah dan tinggi itu kan naik, jadi itulah yang menunda orang untuk menikah. Orang sekarang lebih lama sekolah,” kata Dewa kepada kumparan, Senin (24/3).

Data Survei Sosial Ekonomi Nasional Maret 2024 menunjukkan, persentase penduduk perempuan berusia 7–23 tahun yang masih bersekolah jumlahnya lebih tinggi dibanding laki-laki, yakni 75,76% perempuan versus 73,26% lelaki pada jenjang SD hingga perguruan tinggi.

Ilustrasi perempuan berpendidikan dan berkarier tinggi. Foto: Dicky Adam Sidiq/kumparan

Komisioner Komnas Perempuan Maria Ulfah Anshor mengatakan, faktor meningkatnya partisipasi pendidikan juga membuat perempuan cenderung menikah setelah punya pekerjaan yang mapan.

Maria menyebut, menunda pernikahan adalah pilihan sekaligus hak perempuan, sebab perempuan itu sendiri yang paling tahu tentang kondisi dirinya, termasuk kapan ia siap menikah.

“Bisa juga [menunda nikah] karena angka perceraian dan kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga (KDRT) tinggi,” kata Maria.

Dalam banyak kasus yang ditangani Komnas Perempuan, KDRT acap muncul di tahun ketiga pernikahan. BPS mencatat angka perceraian dalam 11 tahun terakhir fluktuatif meski secara tren meningkat.

Pada 2014, perceraian—karena digugat maupun talak—berada di angka 344.237, sedangkan pada 2024 naik menjadi 394.608. Angka tertinggi pada rentang tahun tersebut terjadi pada 2022 (pasca-COVID), yakni 516.344 perceraian.

Ilustrasi cerai. Foto: Shutterstock

Dalam Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2025, jumlah pengaduan kasus kekerasan terhadap istri (KTI) pada 2024 mencapai 672 kasus. Angka ini merupakan yang tertinggi dibanding semua laporan Catahu sejak 2001.

Kasus-kasus KDRT, suami selingkuh, atau suami penyuka sesama jenis yang muncul di pemberitaan menjadi sejumlah hal yang kini dipertimbangkan perempuan sebelum menikah.

Pernikahan itu kan keputusan mental terbesar, jadi lebih dipikir [sebelum memutuskan]. Jadi enggak salah sih kalau orang [mikir] daripada ribet sudah mending sendiri aja.”- Pinky, perempuan lajang asal Malang (34 tahun)

Sosiolog UGM Derajad Sulistyo Widhyharto dalam risetnya, Sosial Network Analysis (SNA) pada 2023–2024, mengklasifikasikan 4 faktor pendorong orang memilih menunda pernikahan berdasarkan percakapan di media sosial.

Selain persoalan pendidikan dan karier, Derajad juga menemukan bahwa tekanan finansial turut jadi faktor penundaan pernikahan. Menurutnya, faktor ini erat kaitannya dengan kondisi ekonomi negara seperti kenaikan harga properti hingga biaya pernikahan.

Ada juga faktor perubahan gaya hidup dan globalisasi yang membuat isu-isu seperti kemandirian hidup dan child free (memilih tidak punya anak) membuat orang lebih mementingkan kemapanan pekerjaan ketimbang menyegerakan perkawinan.

“Peran keluarga dan budaya menjadi hal penting, misalnya orang tua lebih fleksibel menerima keputusan anak untuk menunda perkawinan,” kata Derajad.

Dewa mengamini bahwa seiring dengan meningkatnya pendidikan, aspirasi yang tinggi terhadap pekerjaan dan karier, serta berubahnya persepsi penduduk muda terhadap pernikahan, membuat masyarakat mempersiapkan diri lebih matang untuk menikah.

Ilustrasi pernikahan. Foto: thinkstock

Menunda Nikah Menimbulkan Depopulasi?

Penundaan pernikahan yang tercermin dari turunnya angka pernikahan membuat kecenderungan seseorang memiliki anak akan tertunda. Dewa Gede menyebut fenomena ini terjadi karena kesadaran untuk mempersiapkan diri memiliki anak setelah menikah juga meningkat.

Akibatnya, menurut Dewa, jumlah anak yang dimiliki perempuan (total fertility rate/TFR) akan lebih sedikit. Alhasil, di masa depan, tren penduduk muda tidak akan meningkat lebih banyak daripada penduduk anak atau balita.

Data sensus penduduk 10 tahunan di Indonesia menunjukkan bahwa angka kelahiran total (TFR) menurun dari 5,61 pada 1971 menjadi hanya 2,18 pada 2020. Artinya, dulu seorang perempuan rata-rata melahirkan 5–6 anak, sedangkan kini hanya 2–3 anak.

Jika TFR tersebut diturunkan ke tingkat provinsi, berdasarkan sensus penduduk 2020, ada 3 provinsi yang memiliki angka TFR di bawah 2, yakni DKI Jakarta (1,75), Jawa Timur (1,98), dan Daerah Istimewa Yogyakarta (1,89).

Kondisi itulah yang membuat struktur piramida penduduk berubah. Penduduk muda atau usia produktif (15–60 tahun) dapat tumbuh lebih lambat ketimbang penduduk usia tua/lansia (>60 tahun). Data BPS mencatat, persentase penduduk lansia pada 2014 masih di angka 8,03% sementara pada 2024 melonjak menjadi 12%.

Dalam standar internasional, ujar Dewa, suatu negara disebut mengalami aging population jika proporsi penduduk usia 60 tahun ke atas sudah melebihi 10%. Di Indonesia, fenomena “1 per 10 penduduk adalah lansia” sudah berlangsung sejak 2021.

Provinsi DIY menempati posisi teratas dengan persentase lansia sebesar 16,28%. Jawa Timur menyusul dengan persentase lansia sebesar 16,02%, diikuti oleh Jawa Tengah dengan 15,46 persen.

Menurut Dewa, aging population tersebut bakal menimbulkan isu ketergantungan terhadap penduduk usia produktif. Pada 2024 rasio ketergantungan lansia angkanya 17,76% yang artinya setiap 100 penduduk usia produktif 15-59 tahun setidaknya mesti menanggung 17-18 orang lansia.

Jika angka TFR kemudian makin berkurang dan aging population bertambah bukan tidak mungkin situasi di Indonesia berpotensi seperti di Korea Selatan dan Jepang yang angka TFR-nya di bawah 1–artinya ada perempuan yang punya anak 1 atau bahkan tidak punya anak sama sekali.

“Bayangkan 20 tahun kemudian anak ini dia harus mengurusi dua orang tua sedangkan dia harus bekerja; atau bayangkan pasangan yang enggak punya anak. Ini yang ngurusin siapa? Itu cerita tentang perawatan yang bisa dibilang sebagai beban ketergantungan muncul,” ujar Dewa.

Untuk kasus di Indonesia, Dewa berpendapat penurunan TFR masih dalam batas yang relatif lambat dan smooth landing di angka 2,18. Namun, pihaknya di Lembaga Demografi FEB UI mulai mengajak masyarakat untuk mendiskusikan perihal depopulasi yang menurutnya bisa jadi terjadi jika tren TFR mengikuti pola di Jepang dan Korea.

Sosiolog UGM, Derajad Sulistyo Widhyharto Foto: Dok. UGM

Sosiolog UGM Derajad Sulistyo menyebut fenomena depopulasi di Indonesia mulai tampak indikasinya dengan munculnya nuclear family atau keluarga yang terdiri dari ibu-bapak dan anak saja, dan tidak banyak extended family yang memiliki banyak paman, bibi, dan keluarga besar yang bercabang-cabang pohon keluarganya.

Derajad juga menyoroti adanya sekolah-sekolah yang mengalami merger atau regrouping karena kekurangan murid. Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti pada Maret 2025 pernah menyoroti masalah kekurangan murid di jenjang Sekolah Dasar ini dengan memunculkan wacana regrouping.

Kondisi kekurangan murid juga terjadi di negara-negara maju yang mengalami depopulasi dan aging population. Di Korea Selatan, misalnya, akhir Maret lalu diberitakan bahwa SD Jungang di Gwangju hanya menerima satu siswa.

“Artinya ini menunjukkan bahwa terjadi depopulasi besar-besaran di Korea Selatan,” kata Derajad.

Ilustrasi: Adi Prabowo/kumparan

Apa yang Mesti Dipersiapkan Menghadapi Aging Population?

Setelah menghadapi bonus demografi pada 2035, Kepala Lembaga Demografi FEB UI I Dewa Gede Karma Wisana menyampaikan bahwa era aging population sudah dimulai. Karenanya, meningkatnya penduduk lansia perlu diantisipasi.

Di satu sisi, muncul tantangan jika lansia di Indonesia tidak ada yang merawat hingga mengalami gangguan kesehatan. Maka menurut Dewa, kelompok rentan macam ini perlu disokong intervensi pemerintah.

Untuk menyiasati lansia yang bertambah, Dewa menyebut pemerintah perlu mengokohkan sistem jaminan sosial, khususnya jaminan hari tua (JHT), sehingga tabungan itu dapat dipergunakan untuk lansia hidup mandiri memenuhi kebutuhan minimum mereka.

Selain itu, upaya lain ialah menyesuaikan usia pensiun dari waktu ke waktu seiring dengan angka harapan hidup yang naik. Hanya saja, Dewa menambahkan, perlu dibuat program khusus untuk lansia agar bisa bekerja di sektor tertentu yang cocok dengan kemampuan mereka.

Kepala Lembaga Demografi FEB UI, I Dewa Gede Karma Wisana. Foto: Amrizal Papua/kumparan

“Pertanyaannya adalah pekerjaan seperti apa yang kita bisa berikan ke mereka (lansia). Referensinya barangkali adalah Singapura yang sudah punya program untuk penduduk lansia tetap bekerja,” kata Dewa.

Singapura memiliki usia pensiun minimum 63 tahun dengan kebijakan bahwa karyawan itu dapat dipekerjakan kembali–selama memenuhi syarat–hingga usia 68 tahun di sebuah perusahaan. Kebijakan ini bahkan dialasi oleh Undang-Undang Pensiun dan Pekerjaan Kembali yang berlaku 1 Juli 2022.

Pemerintah Singapura juga memberi insentif kepada perusahaan agar mempekerjakan pekerja senior. Misalnya Senior Employment Credit yakni subsidi upah hingga 7% bagi pemberi kerja yang mempekerjakan pekerja Singapura berusia 60 tahun ke atas dengan penghasilan kurang dari $4.000 (sekitar Rp 49,7 juta).

Singapura juga memiliki program Employment Support for Seniors dari Workforce Singapore (WSG). Program ini menyediakan advis dan layanan job matching kepada pencari kerja di atas usia 50 ke atas.

Ilustrasi lansia di panti jompo. Foto: Getty Images

Sosiolog UGM Derajad Sulistyo mengungkap ironi yang dihadapi Indonesia. Di tengah gegap gempita bonus demografi, ia tak melihat program khusus untuk mengelola bonus tersebut.

“Malah banyak PHK (Pemutusan Hubungan Kerja). Ini kontraproduktif betul dengan bonus demografi,” kritik Derajad.

Derajad menyebut situasi di Indonesia lebih berbahaya ketimbang Jepang yang mengalami depopulasi tetapi dilandasi oleh kesibukan ekonomi. Data BPS menyebut, di Indonesia ada 9,9 juta penduduk usia 15-24 tahun yang tidak sekolah, tidak ikut pelatihan, dan tidak bekerja pada 2024.

“Kita sudah ekonominya tidak maju, reproduksinya juga tidak jalan, kita menghadapi depopulasi, otomatis ada penurunan pajak nanti ketika masyarakat tidak produktif, jadi ancaman kita lebih besar sebenarnya dibandingkan Jepang,” kata Derajad.

Jika depopulasi terus berlanjut, beban yang harus ditanggung generasi muda ke depan akan semakin berat. Tanpa sistem perawatan lansia yang memadai, tanggung jawab mengurus orang tua sepenuhnya akan jatuh pada keluarga—terutama anak-anak mereka.

Yukiko Namekata, seorang penghuni fasilitas perawatan lansia yang dikelola oleh Zenkoukai, di Tokyo, Jepang. Foto: REUTERS/Kim Kyung-Hoon

“Kita tidak punya sistem lansia seperti Jepang, di mana panti jompo dikelola negara. Di sini, orang tua justru dikembalikan pada keluarga dan menjadi beban anak,” jelas Derajad.

Dalam 5-10 tahun ke depan, ketika Generasi Z yang kini baru memasuki dunia kerja mulai memiliki anak, masalah ini akan kian nyata. Derajad memprediksi, tanpa intervensi serius, kita mungkin akan menyaksikan banyak lansia terlantar—mengais makan di tempat sampah atau menjadi gelandangan.

Ancaman ini bukan sekadar imajinasi suram, melainkan konsekuensi nyata dari kegagalan mengelola bonus demografi dan ketidaksiapan menghadapi aging population.

Lalu, apa yang bisa dilakukan?

Pemerintah harus segera merancang kebijakan yang tidak hanya memacu produktivitas generasi muda, tetapi juga membangun sistem jaminan sosial bagi lansia.

Tanpa itu, Indonesia berisiko terjebak dalam krisis ganda: generasi muda yang terbebani dan lansia yang terabaikan.

Menurut Derajad, “Kita tinggal lihat saja seberapa kuat anak-anak muda itu bertahan.”

Tindakan harus diambil sekarang sebelum semuanya terlambat.

Leave A Comment

RSS
Follow by Email
LinkedIn
Share
WhatsApp
Copy link