Berita

Kejagung Sebut Kasus Minyak 2018-2023: BBM yang Sekarang Beredar Bukan Oplosan

Kapuspenkum Harli Siregar, Selasa (31/12/2024). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan

Kejaksaan Agung (Kejagung) meminta kepada masyarakat agar tidak perlu resah terkait adanya isu pengoplosan bahan bakar minyak Pertalite menjadi Pertamax. Keresahan ini muncul setelah Kejagung mengusut adanya dugaan korupsi tata kelola minyak dan produk kilang.

Kapuspenkum Kejagung, Harli Siregar, menjelaskan berdasarkan hasil penyidikan memang ditemukan adanya proses impor minyak yang tidak sesuai.

Diduga PT Pertamina Patra Niaga seakan-akan membeli minyak RON 92 tetapi sebenarnya yang dibeli adalah RON 90 yang kemudian diolah kembali.

Namun demikian, dalam proses penyidikan, dugaan ini ditemukan dalam periode 2018-2023. Artinya, terakhir berlangsung 2 tahun yang lalu.

“Jadi maksud kita, jangan seolah-olah bahwa peristiwa itu terjadi juga sekarang. Ini kan bisa membahayakan di satu sisi ya. Fakta hukumnya ini di 2018-2023, dan ini sudah selesai,” kata Harli kepada wartawan, Rabu (26/2).

Dia berharap tidak ada anggapan bahwa minyak yang saat ini diedarkan adalah oplosan.

“Jadi jangan ada pemikiran di masyarakat bahwa seolah-olah bahwa minyak yang sekarang dipakai itu adalah oplosan, itu enggak tepat,” ujarnya.

“Karena memang kita dapatkan fakta hukum yang sudah selesai ya, bahwa RS selaku Dirut PPN itu melakukan pembayaran terhadap pembelian minyak yang RON 92 berdasarkan pricelist-nya,” sambung dia.

Harli menjelaskan, minyak tergolong dalam barang habis pakai. Sehingga, menurutnya, saat ini minyak yang diimpor tersebut sudah tidak ada lagi.

“Jadi apa yang disampaikan oleh pihak Pertamina ya, karena pernyataannya sekarang kan, jadi sekarang enggak ada masalah, speknya sudah sesuai,” ungkap Harli.

“Karena yang kita selidiki ini adalah 2018-2023, minyak itu barang habis pakai. Karena kan (stoknya) terus dia berputar,” tambah dia.

Ilustrasi gedung Jam Pidsus, Kejagung. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan

Dalam kasus ini, Kejagung telah menetapkan tujuh orang tersangka. Termasuk 4 petinggi di PT Pertamina subholding. Mereka adalah: RS, SDS dan YF dan AP.

Sedangkan tiga tersangka lainnya yakni; MKAR selaku Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa; DW selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa dan PT Jenggala Maritim; GRJ selaku Komisaris PT Jenggala Maritim sekaligus Dirut PT Orbit Terminal Merak.

Perkara ini terjadi pada 2018-2023. Pemerintah mencanangkan agar pemenuhan minyak mentah wajib berasal dari dalam negeri. Pertamina, diwajibkan mencari pasokan minyak bumi dari kontraktor dalam negeri sebelum merencanakan impor. Hal itu telah diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Permen ESDM Nomor 42 Tahun 2018.

Namun ternyata, diduga ada pengkondisian untuk menurunkan produksi kilang sehingga hasil produksi minyak bumi dalam negeri tidak sepenuhnya terserap.

“Pada akhirnya pemenuhan minyak mentah maupun produk kilang dilakukan dengan cara impor,” ungkap Dirdik Kejagung Abdul Qohar, Senin (24/2).

Pada saat yang sama, produksi minyak mentah dalam negeri oleh KKKS juga dengan sengaja ditolak.

Alasannya, produksi minyak mentah oleh KKKS tidak memenuhi nilai ekonomis, padahal harganya masih sesuai harga perkiraan sendiri (HPS).

Tak hanya itu, produksi minyak mentah dari KKKS juga dinilai tidak sesuai spesifikasi. Namun faktanya, minyak yang diproduksi masih dapat diolah sesuai dengan spesifikasi.

“Pada saat produksi minyak mentah dalam negeri oleh KKKS ditolak dengan dua alasan tersebut, maka menjadi dasar minyak mentah Indonesia dilakukan ekspor,” jelas Qohar.

Dua anak perusahaan Pertamina kemudian melakukan impor minyak mentah dan produk kilang. Di mana, perbedaan harga pembelian minyak bumi impor sangat signifikan dibandingkan dari dalam negeri.

Dalam kegiatan ekspor minyak juga diduga telah terjadi kongkalikong pengaturan harga dan menyebabkan kerugian negara.

“Seolah-olah telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dengan cara pengkondisian pemenangan demut atau broker yang telah ditentukan dan menyetujui pembelian dengan harga tinggi melalui spot yang tidak memenuhi persyaratan,” ucap Qohar.

Salah satu contoh pembelian tersebut, yakni seakan-akan membeli minyak RON 92 tetapi sebenarnya yang dibeli adalah RON 90 yang kemudian diolah kembali.

Selain itu, ada juga dugaan mark up kontrak dalam pengiriman minyak impor. Sehingga, negara perlu membayar biaya fee tersebut sebesar 13-15 persen.

Atas perbuatan para tersangka ini, menyebabkan kenaikan harga bahan bakar minyak yang akan dijual ke masyarakat. Sehingga, pemerintah perlu memberikan kompensasi subsidi yang lebih tinggi bersumber dari APBN.

“Mengakibatkan adanya kerugian keuangan negara sekitar Rp 193,7 triliun,” kata Qohar.

Leave A Comment

RSS
Follow by Email
LinkedIn
Share
WhatsApp
Copy link